Tuesday, July 20, 2010

Tanjung Morawa, 23 Februari 2010

Huhu, jauh juga dari penginapan, 2 kali naik angkot. Yiha … akhirnya naik becak juga di medan [so excited … \(^_^)/ ] he3 … Udah gitu bang Anta minta difoto juga, ga biasanya dia begitu. 


Sampai di gereja, mereka sedang berduka, isteri bapak pendeta belum lama meninggal dunia dan kemudian bapak pendeta sendiri opname di rumah sakit karena DB, jadi hanya koordinator dan staff yang ada di PPA. Ada satu bapak [klo ga salah pak togatorop namanya], pagi-pagi joke-nya ga banget [soal cari pendamping baru utk bapak pendeta], udah gitu bapaknya agak-agak BERLE[bihan] gimana gitu. Karna bapak ini yang antar saya ke rumah pertama, k’Flora berbisik ‘hati2 dijalan ya dek’.

Rumah pertama tergolong dekat dari PPA. Melewati lahan kakao dan nanas, senang. Sedikit berpusing2 ria dengan petani yang mengarap lahan yang ditanami padi dan memelihara babi untuk dijual. Sedikit terbantu karena sang bapak bekerja di toko pupuk, jadi bisalah untuk masalah harga2 dan yang berhubungan dengan pupuk dan pertanian. Akhirnya saya mendengar istilah ‘rante’ dan ‘kaleng’ hari dari keluarga yang saya interview.

Yuhu, kita ke kota sekarang kata si Abang yang menemani saya,he3. Masuklah ke gang yang lumayan kecil untuk dilewati motor. Rumahnya sedikit kumuh, dengan sebagain besar dinding dari papan bercat putih yang sudah mulai menghitam. Rumah itu rumah sewaan yang dihuni 10 orang. Saya kira keturunan cina, tapi kog punya marga Zebua, ternyata mereka orang nias. Keluarga ini mengandalkan bapak yang bekerja di pabrik dan ibu kerja konveksi yang hanya bekerja jika ada bahan saja.

Theme song for today … “mendaki gunung, lewati lembah” setelah dari kota kita mulai ke pedesaan lagi. Saya kira dekat, karena ketentuan dari compassion klo anak yang dilayani di PPA, jarak rumahnya dengan PPA maksimal 30 menit jalan kaki , ternyata … eh ternyata … dengan naik motor, lewat jalan pintas dengan kanan kiri kebun kacang, padang ilalang, trus jalan utama beraspal lagi itu belum juga sampai tujuan. Masih melewati kawasan pabrik, trus menuruni jalan tanah, tanah berbatu kecil, tanah berbatu besar, jalan beraspal yang rusak, kanan kiri sawah terhampar, kemudian baru nampak ada sekumpulan rumah. Untungnya rumah yang ketiga ada di dalam situ. Saya terus berpikir kenapa orangtua anak PPA itu mau dan bersedia kalau anaknya itu harus pergi ke PPA sejauh itu. Usut punya usut [hehe, ga ding, ibunya bilang sendiri tanpa harus ditanya], kalau menurut dia, soal kebutuhan rohani anak-anaknya belum tercukupi di gereja lokal tempat mereka bergereja, belum memenuhi stardartnya ibu itu lah dia bilang.

Huhu, waktu pulang, untungnya sudah sampai jalan besar, ternyata motor Abang yang menemani saya bensinnya habis. Jadi terpaksa mendorong ke tempat yang menjual bensin eceran. Lengkap sudah. Ditengah terik matahari tanpa jaket dan topi.

0 comments:

Post a Comment