Friday, July 23, 2010

Lotu, 2 Maret 2010


Hari kedua untuk berkunjung ke PPA. Pagi ini pun disambut dengan padamnya listrik. Karena sudah jadi terbiasa dengan cahaya lilin kami pun bersiap memulai aktivitas hari ini. Perjalanan ternyata lumayan juga. Di tengah jalan, abang supir yang menyetir bilang sepertinya masih jauh, saya bersiap tidur lagi, belum beberapa lama eh malah udah nyampe depan PPA, alhasil ga jadi tidur malah muka tidur deh.
 
Karena rumah yang sedikit mendaki [sebenernya sih lumayan], saya dan pendamping saya diantar ke rumah keluarga yang pertama. Yuhu … hari kedua masih serasa di europe, hahaha … masih dengan bahasa yang saya tidak mengerti. Sedikit membosankan karna penerjemah saya kali ini tidak terlalu menyenangkan seperti waktu di hiliserangkai, di sana kakak itu masih mau menceritakan apa yang
bapak atau ibu omongin, tapi kali ini tidak … huhu kurang yahud penterjemah saya kali ini, untung kali ini hanya satu keluarga yang perlu diterjemahkan ke bahasa nias.
 
Keluarga pertama, sedikit menunggu karna bapak ini sudah terlanjur ke kebun. Tidak ada yang terlalu menarik kecuali bapak ini yang makan sirih pinang kemudian waktu membuangnya dari mulut sedikit nyemprot2 dan mengenai sepatu saya,hehehe
 
Rumah kedua tidak terlalu jauh dari rumah pertama, jadi kami berjalan kaki. Thanks God bisa bahasa Indonesia. Keluarga ini benar2 bisa memenuhi kebutuhan hidup karna kasih karunia Allah saja. Kalau mengandalkan hasil panen karet saja tidaklah cukup apalagi keluarga ini baru saja mempunyai bayi lagi yang sudah berusia 5bulan. Bayi terpaksa tidak minum ASI lagi karna kondisi ibunya yang tidak memungkinkan karna sakit penyakitnya.

Rumah ketiga saya kunjungi sehabis makan siang, lapar cuy ... Oiya, di Nias seorang ibu atau bapak akan dipanggil dengan ina atau ama yang belakangnya memakai nama anak pertama mereka. Kali ini saya berkunjung ke rumah Ina viven. Ina viven ini bahkan masih kirim sms ke saya walaupun saya sudah nyampe jakarta,he3 ...

Dari semua keluarga yang dikunjungi, semua mengandalkan penampungan air hujan untuk kebutuhan airnya, kalaupun benar2 tidak ada harus ke sumber air yang letaknya sedikit jauh dari rumah mereka.
 
Pulang hari ini mampir di Pantai Museum. Dan sekali lagi mulai sesi narsisme di pantai ini, lumayanlah untuk menambah album foto dan kenangan kami. Hahay ... sebenernya ga tau juga klo mau ke pantai, cuma waktu saya bangun ternyata udah sampe gerbang pantai museum :D

 Pantai Museum

Pantai ini emang ada museumnya juga, ada rumah adat Nias gitu, terus ada prasasti kenangan tentang gempa ma tsunami yang melanda nias juga.

Prasasti Gempa dan Tsunami Nias

Rumah adat Nias

Hiliserangkai, 1 Maret 2010

The journey begin ...

Hari pertama kerja di Nias, lagi2 disambut dengan listrik yang padam di pagi hari setelah tidur malam yang cukup nyaman karena hujan. Dengan lilin yang sudah dipersiapkan dari medan kami memulai aktivitas antrian mandi. Setengah tujuh pagi mobil menjemput dan kami berangkat. Sampai di PPA 123 pukul 08.00, cukup mepet karna sarapan dulu sebelumnya.

Hari ga mungkin ketemu keluarga yang ga ada petaninya, sudah sangat bisa dipastikan. Soal kendala bahasa, kita percayakan saja pada tentor/mentor yang mendampingi,hehe … ya kan ga mungkin kami bisa dalam sekejap.

Dengan berjalan kaki kami mendatangi keluarga yang pertama. Huhu, beneran kan, ibunya sih orang madiun, tapi udah kelamaan di nias kayaknya, ampe pelafalan tiap katanya ngantung2 juga. Jadi lumayan lama juga di keluarga ini karna harus diterjemahkan. Rumah ini beratapkan rumbia dan berdinding papan, pintunya pun ya papan yang seperti papan kios2 warung kecil di jakarta [yang saya
tau sih,hehe], yang pasti bukan pintu yang ada engselnya itu. Bapak mengarap kebun karet, itu juga sekarang udah jarang2 karna bapak sering sakit. Ibu berjualan es di kota 2kali sepekan. Kalau dari segi pendidikan, yang bisa membaca dan menulis dengan lancar hanya anak pertama mereka yang smp pun tak lulus. Ditengah wawancara, 2orang tetangga pun ikutan nimbrung,untung ga bikin riweh.

Di keluarga kedua, saya langsung dipersilahkan masuk oleh seorang bapak. Isterinya sedang mengandung anak ke empat. Rumahnya cukup kecil, ukurannya mungkin tidak lebih dari 5x5 meter persegi. Dinding rumahnya dari papan, tapi dibagian bawahnya masih ada celah yang memungkinkan air masuk rumah klo hujan besar. Penerangannya masih mengunakan lampu minyak tanah [tepklok] dan itu hanya satu, belum ada listrik di rumah itu dan otomasis tidak punya barang2 elektronik. Ibu ini petani karet yang tanahnya merupakan warisan dari orangtua sang suami. Bapak ini sudah hampir 3bulan tidak bekerja karna kakinya hampir tidak bisa digerakkan, suka gemetar2 gimana gitu kata bapak ini, mungkin rematik katanya lagi. Tidak diperiksakan ke rumah sakit karena terbentur masalah biaya yang sangat mahal.

Setelah makan siang, kami berangkat ke rumah keluarga ketiga, karna bapak ini baru pulang dari bekerja sekitar jam makan siang. Masuk di depan rumahnya, dan ternyata bukan rumahnya [taunya belakangan] karena rumah bapak ini hanya sebuah ruangan di belakang, ada rencana juga membuat satu ruangan lagi tp blm ada biayanya. Selama saya mewawancarai keluarga ini, ada 3orang tetangga yang berjejer mendengarkan dan sedikit berkomentar, untuk tidak membuat rusuh,hehe … anaknya yang masih kecil hilir mudik sambil membawa sepasang vcd, hilir mudiknya sih biasa aj, vcd yang dibawanya itu yang ga biasa. Kayaknya sih orang2 sekitar itu ga tau [mungkin] itu vcd apa, tapi setelah saya sedikit perhatikan, ternyata itu vcd porno, ada gambar2 ga jelas itu dan tulisan ‘rape 2’…ckckck, sungguh tidak menyangka.

Akhirnya ketemu juga WC/kakus yang diomongin k’Riama waktu training di bandung, yang memang
WC/kakus terbuka itu. Huhu …


Ini dia kakak-kakak dan bapak-bapak yang udah bersedia membantu kami apalagi soal menerjemahkan bahasa. Percaya ga, kalau di desa yang satu ini, semua nama keluarga alias marga mereka itu semuanya 'Mendrofa'? Jadi bingung waktu kenalan, terutama bapak-bapak itu.

Tuesday, July 20, 2010

Nias ... Here we come!

Medan, 28 februari 2010

Cihuy kita ke Nias pas tgl28Feb, jarang-jarang ada tu tgl dibulan feb, he3 ... karna penerbangan cm sekali sehari (klo ga salah inget), pastinya kita ga boleh ketinggalan pesawat, so harus bergegas.

Nyampe juga di bandara Polonia. Kali harus mempersiapkan metal lagi buat naek pesawat (lagi) apalagi kali ini naek pesawat kecil dan semua ini bikin jadi dag dig dug duer. Liat aj, kita masih bisa mejeng dekat baling-balingnya sebelum masuk pesawat.


Yippi, pilihannya cuma dua, naek Riau Airline atau Merpati. Tapi untung naek Riau Airline karna setelah melihat bentuk pesawat yang merpati. Tidaaaakkkkk ... emang cuma 1jam perjalanan sih, tapi tetep aj, namanya kaki ndak nginjek tanah tuh gimana gitu rasanya. Apalagi disuruh ngeliat keluar jendela pesawat, bagus sih emang keliatannya, tapi laut semua gitu di bawah. Saya kan ndak bisa renang.


Makasih banyak udah bikin saya mau melihat pemandangan itu dan saya jadi ga bisa tidur sepanjang perjalanan juga malu diliatin ma penumpang laen karna dianggap terlalu katro kayak baru naek pesawat (lah emang baru pertama naek pesawat kayak begitu).

Pengalaman yang menyenangkan. Kalau ditanya: 'mau lagi?'.. mikir-mikir dulu deh, kalau emang ndak ada pilihan laen, gpp deh :p

Medan, 27 Februari 2010

Weekend bergembira. Dimulai dengan olahraga [niatnya], karna bang mico udah ngidam maen basket sejak pertama mendarat di medan dan baru hari ini [mungkin] bisa diwujudkan. Berjalan kaki ke arah SMU Methodist, lumayan panjang juga perjalanan. Sempat juga melihat vihara, bangunan dan designnya cukup megah. Melewati taman kecil yang ada lintasan kecil untuk jogging. Sampai di SMU Methodist, pupus sudah harapan bang Mico untuk main basket, huhu … mereka libur, kosong melompong, satpamnya pun tak ada. Jadi, kami putuskan untuk jogging aja di taman kecil tadi. Lari sebentar kemudian kami mulai teriak ‘LAPAR’, penyakit ini emang ga bisa lepas dari kami. Kami berangkat ke kampung keling,akhirnya bisa menemukan makan enak yang tak bersantan. Yiha … karna udah cape, naik angkot deh pulang.

Perjalanan hari ini berlanjut dengan foto session, wkwkwk … mulai dari Istana Maimun sampai sebuah gereja yang arsitektur bergaya india. Thanks God bisa jalan2 menikmati medan walau hanya tour dalam kota, ya maklum lah kalau saya sedikit udik karna baru pertama kali ke medan.

Istana Maimun - outside -
 
Istana Maimun - inside - 

Gereja Annai Valangkany

Sekarang tinggal menunggu laudry datang dan berkemas berangkat ke Nias.

Martubung, 26 Februari 2010

Hari kerja terakhir di medan dan pas di tanggal merah. Yuhu, kesiangan semua .. mulai antrian mandi jam5.30  Untungnya sih ga telat sampe lokasi PPA.

Saya didaulat untuk naik motor ke setiap rumah keluarga anak2 yang di daftar saya. Semua orang was2 apa saya bisa mengendarai motor, hahaha kekuatiran mereka terjawab. Karena saya sudah beberapa bulan memakai motor matic, alhasil jadi lupa klo harus masuk gigi satu dulu baru di gas ,,, saya Cuma gas, lumayan kenceng juga, dan itu mengagetkan semua orang :D maaf..maaf..maklumlah kawan! Tapi setelah itu berjalan lancar perjalanan saya mengendarai motor itu. Tapi tetap harus super hati2 karna lalu lintas di medan itu lebih parah di banding di jakarta. Ampun2 deh. Bikin sewot setengah mati.

Keluarga pertama. Baru salaman, ibunya langsung bilang, ‘miss tolong masukkan anakku yang paling kecil ini ke PPA’ heh … [*berpikir: jawab apa ya??]. Ibu ini juga tiba2 menangis ditengah-tengah interview [untuk kedua kalinya]. Hanya bisa menghibur seadanya. Ibu ini menangis karna ingat kalau semalam anak tertuanya, syahril, bilang kalau dia diejekin temannya di sekolah kalau dia anak supir. Syahril bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bagus karna dapat beasiswa. Untungnya ibu ini bisa menghibur anaknya. Biar anaknya ini berbesar hati karna dia pandai dalam hal pendidikannya. Ibu ini sebenarnya pernah bisa masuk kedokteran USU setelah lulus SMU, tapi apa mau dikata, orangtua tidak sanggup untuk membiayai.

Keluarga kedua. Semua berjalan lancar, si ibu menjawab, tapi terkadang lambat sekali. Baru kali ini saya sudah mulai mengantuk di keluarga kedua, biasanya klo sudah selesai wawancara ketiga barulah saya mengantuk. Si bapak ternyata bekerja sebagai supir pengangkut barang ke luar kota, jadi hanya berada di rumah selama 10 hari saja dalam 1 bulan. Keluarga ini hanya mengandalkan penghasilan si bapak untuk memenuhi semua kebutuhan. Keluarga ini memiliki 4 orang anak dan semuanya perempuan. Dari pengamatan sampai keluarga kedua ini, kebanyakan anak2 di sana terkena penyakit kulit, entah bisul atau penyakit semacamnya. Mungkin disebabkan karena air atau lingkungannya.

Keluarga ketiga. Rumahnya lumayan sudah baik, tapi ternyata rumah itu masih dicicil pembayarannya dan belum lunas. Keluarga ini mempunyai 3orang anak laki-laki, yang paling besar baru masuk TK. Ibu mertua nya pun tinggal bersama. Kepala keluarga berpenghasilan dari ngojek. Ibunya bekerja juga di pabrik yang mengolah udang, tetapi dalam waktu 2minggu ke depan pabrik itu akan tutup. Itu mungkin yang menjadi beban pikirannya,sampai2 berpikiran klo setelah wawancara ini anaknya bisa saja dikeluarkan dari PPA.

Pancur Batu, 25 Februari 2010

Sebelum sarapan, mejeng dulu ah depan PPA, lumayan dah lama ga maen ayunan ... :) Kenyang rek, sarapan po makan siang. Sebakul gitu porsi nasinya [lebay.com]. Kali ini cukup terkejut dengan kondisi keluarga dan lingkungannya.


Di keluarga pertama, ternyata Roy tinggal dengan nenek dan bibinya. Ibunya pergi ke malaysia, jadi TKW sekitar 3 tahun yang lalu. Tak lama berselang dari keberangkatnya, terdengar kabar kalau dia menikah lagi dengan orang mynmar tanpa bercerai dengan bapaknya Roy. Bapaknya pun pergi ke batam dan kemudian menikah lagi dengan orang lain. Mereka berdua tidak pernah mengirimi uang untuk ketiga anaknya yang ditinggal begitu saja dengan neneknya. Jadi ibu Ida [neneknya Roy], hanya mengandalkan bibinya Roy yang berpenghasilan 30ribu perhari untuk penghidupan.

Yuhu … ketemu orang kebumen di tanah karo, tapi udah terganti logatnya dengan logat batak, he3 … Anak pertamanya yang smp disuruhnya bekerja di Rumah Makan milik bibinya. Alasan ibunya, karna biar ga main PS atau terpengaruh pergaulan teman2 sebayanya yang sudah merokok tau pergaulan bebas. Yang bikin miris, kamar mandinya bener2 terbuka, mungkin terlihat dari jalan, air harus ditimba dari sumur sebelah rumah. Lumayan baru karena pembuangan WC-nya hanya pakai saluran pembuangan ke parit/sungai.

Di keluarga ketiga ga kalah kacau untuk perkembangan anak2 yang ada di rumah itu. Pertama, Bu mariana, ibu dari Dewi yang menjadi sampel kali ini, dia mengusir suaminya dari rumah karena suaminya ini malas bekerja. Kedua adiknya dan Neneknya dewi juga tinggal disitu. Adik laki-laki ibu mariana, pak Jumin namanya, dia pindah ke rumah itu setelah bercerai. Adik perempuan ibu mariana, Bu Salbia namanya, tinggal di situ dengan anak tunggalnya yang juga dilayani di PPA. Bu salbia memiliki anak, tetapi pria yang menghamilinya pergi tanpa mau bertanggungjawab. Neneknya dewi, ibu Mina namanya, tidak bekerja karna sudah tua dan kakinya sakit. Bu mariana, bu salbia dan pak jumin berprofesi sebagai pedagang. Mereka masing-masing berdagang mie, kue dan ikan rebus.

Hari ini lumayan aneh, ditambah jadi orang terakhir yang nyampe lokasi PPA setelah interview keluarga. Nyampe2, mereka sudah bersiap untuk  pulang. Mereka bilang kalau aku yang harus mewawancarai para tokoh masyarakat karena mereka mau fotocopy semua laporan yang udah selesai. Tapi anehnya bang Anta masih menyapa tokoh masyarakat yang sudah datang dan k’Flora bertanya ‘mo pulang bareng kami ato bang anta?’ … makin ga ngerti dengan semua keadaan ini. T_T , jadi memilih untuk diam sampai di rumah.

Namorambe, 24 Februari 2010

Jauh pisan euy, pake acara rebutan angkot juga … kata k’Ria, mungkin jalannya ga bagus, mobil itu bisa tenggelam karna banyak lubang .. eh, eh .. ternyata udah diaspal, baru 2 minggu yang lalu pula, beruntung kali kami. Thanks God

Rumah pertama,seorang ibu muda menyambut saya. Keluarga ini keluarga muda [dalam artian usia kepala keluarganya, bukan usia perkawinan mereka]. Rumah sewaan yang tergolong dalam keadaan yang buruk. Masuk dari pintu depan langsung ketemu tempat tidur yang Cuma satu2nya dengan 2 anak kecil, ibu mertua dan dan 1 adik ipar yang tinggal disitu. Kepala keluarga dan adik ipar bekerja sebagai buruh bangunan yang bertugas memasang atap, sedangkan ibu mertuanya jadi buruh tani upahan.

Keluarga yang kedua, ini keluarga ibu yang menemani saya kunjungan ke keluarga2, kebetulan ini ada mentor/tutor di PPA dan anaknya juga dilayani di PPA. Melihat rumahnya dari luar, kog bagus ya kalau dibanding dengan rumah2 sekitar, ternyata di dalamnya kosong tidak ada perabot. Keluarga ini pernah tinggal di papua, di namorambe mereka kontrak rumah. Suami ibu ini kembali pergi ke papua karna merasa disitu di susah untuk berpenghasilan ketimbang di papua. Untuk penghidupan dirinya dan anak2nya, ibu ini mengandalkan kiriman dari suaminya dan uang bayarannya sebagai tentor/mentor di PPA.

Lingkungan, soal keamanan lebih tepatnya, bagi saya sedikit menyeramkan. Di gang masuk ke gereja, ada dua kedai berurutan yang menyediakan meja billiard dan banyak pria2, ntah pengangguran atau supir2 angkot, yang nongkrong disitu padahal itu baru jam11 siang. Kalau dari warga setempat bilang, malah terkadang ada pemuda2 yang nge-lem [ngisep2 bau lem aibon].

Dapet istilah baru lagi di rumah ketiga,..
[ayu]: Bapak ada ngarap tanah?
[bapak]: ada
[ayu]: brp luasnya?
[bapak]: 2000 tanah …
[ayu]: heh?? Itu brp meter kali brp meter pak? (sok polos)
[bapak]: hmm … 2000 m2 buk.
[ayu]: owwalah, sama aja to (lega bgt, ga butuh konversi susah2)

Ada yang megejutkan lagi, di daerah ini bikin KTP bayar 50ribu, kalau KartuKeluarga 100ribu … aje gile mahalnya, itu juga pake lama … Kalau soal pendidikan juga, kalau sekolah negeri sih ga bayar, cuma cara ngajar guru-gurunya dan kualitasnya emang masih kurang banget. Ngajarnya pake acara ditinggal-tinggal, kata ibu di rumah pertama.


Tanjung Morawa, 23 Februari 2010

Huhu, jauh juga dari penginapan, 2 kali naik angkot. Yiha … akhirnya naik becak juga di medan [so excited … \(^_^)/ ] he3 … Udah gitu bang Anta minta difoto juga, ga biasanya dia begitu. 


Sampai di gereja, mereka sedang berduka, isteri bapak pendeta belum lama meninggal dunia dan kemudian bapak pendeta sendiri opname di rumah sakit karena DB, jadi hanya koordinator dan staff yang ada di PPA. Ada satu bapak [klo ga salah pak togatorop namanya], pagi-pagi joke-nya ga banget [soal cari pendamping baru utk bapak pendeta], udah gitu bapaknya agak-agak BERLE[bihan] gimana gitu. Karna bapak ini yang antar saya ke rumah pertama, k’Flora berbisik ‘hati2 dijalan ya dek’.

Rumah pertama tergolong dekat dari PPA. Melewati lahan kakao dan nanas, senang. Sedikit berpusing2 ria dengan petani yang mengarap lahan yang ditanami padi dan memelihara babi untuk dijual. Sedikit terbantu karena sang bapak bekerja di toko pupuk, jadi bisalah untuk masalah harga2 dan yang berhubungan dengan pupuk dan pertanian. Akhirnya saya mendengar istilah ‘rante’ dan ‘kaleng’ hari dari keluarga yang saya interview.

Yuhu, kita ke kota sekarang kata si Abang yang menemani saya,he3. Masuklah ke gang yang lumayan kecil untuk dilewati motor. Rumahnya sedikit kumuh, dengan sebagain besar dinding dari papan bercat putih yang sudah mulai menghitam. Rumah itu rumah sewaan yang dihuni 10 orang. Saya kira keturunan cina, tapi kog punya marga Zebua, ternyata mereka orang nias. Keluarga ini mengandalkan bapak yang bekerja di pabrik dan ibu kerja konveksi yang hanya bekerja jika ada bahan saja.

Theme song for today … “mendaki gunung, lewati lembah” setelah dari kota kita mulai ke pedesaan lagi. Saya kira dekat, karena ketentuan dari compassion klo anak yang dilayani di PPA, jarak rumahnya dengan PPA maksimal 30 menit jalan kaki , ternyata … eh ternyata … dengan naik motor, lewat jalan pintas dengan kanan kiri kebun kacang, padang ilalang, trus jalan utama beraspal lagi itu belum juga sampai tujuan. Masih melewati kawasan pabrik, trus menuruni jalan tanah, tanah berbatu kecil, tanah berbatu besar, jalan beraspal yang rusak, kanan kiri sawah terhampar, kemudian baru nampak ada sekumpulan rumah. Untungnya rumah yang ketiga ada di dalam situ. Saya terus berpikir kenapa orangtua anak PPA itu mau dan bersedia kalau anaknya itu harus pergi ke PPA sejauh itu. Usut punya usut [hehe, ga ding, ibunya bilang sendiri tanpa harus ditanya], kalau menurut dia, soal kebutuhan rohani anak-anaknya belum tercukupi di gereja lokal tempat mereka bergereja, belum memenuhi stardartnya ibu itu lah dia bilang.

Huhu, waktu pulang, untungnya sudah sampai jalan besar, ternyata motor Abang yang menemani saya bensinnya habis. Jadi terpaksa mendorong ke tempat yang menjual bensin eceran. Lengkap sudah. Ditengah terik matahari tanpa jaket dan topi.